Lelaki itu bernama Aswatama. Ia anak Pandita Drona. Ia punya rindu-dendam terhadap perempuan. .
Syahdan, Prabu Salya raja Mandaraka mempunyai tiga orang putri. Semuanya rupawan. Ialah Erawati, Surthikanti dan Banowati. Yang paling cantik sekaligus binal namanya Banowati. Disamping cantik dan binal ia molek. Banyak lelaki melambungkan khayalan padanya. Hukum dunia telah digariskan, wanita cantik berjodoh dengan lelaki rupawan. Yang binal dapat yang jalang. Banowati juga tahu hukum dunia itu. Karenanya ia berani jatuh hati pada Arjuna, sang penengah Pandawa,lelananging jagad – pejantan dunia, lelaki paling jalang diantara yang jalang. Gayung bersambut. Playboy dunia wayang itu tidak menampik Banowati. Maka terjadilah percintaan yang membirahi.
Di tempat lain Prabu Drupada raja Panchala terluka hatinya karena ulah Pandita Drona. Drupada lantas melakukan ritual Putrakama Yadnya, ritual memohon anak, dengan tujuan anak tersebut kelak sebagai sarana untuk membunuh Drona. Lahirlah dua orang, yang lelaki diberi nama Drestajumna, yang perempuan Dropadi. Malang nian anak-anak ini, mereka dimohonkan lahir kedunia dengan ungkapan dendam.
“Wahai Drestajumna pergilah ke penjuru bumi. Timbalah ilmu dari guru-guru sakti karena kelak takdir menuntutmu untuk membunuh Drona, guru yang sombong dan tidak adil itu.”
Drestajumna menuruti ayahandanya. Ia harus kukuh sebagai mesin pembunuh. Berat rasanya menjadi calon pembunuh secara sadar sejak awal. Kenapa pula harus Drona. Guru para Pandawa sekaligus Kurawa. Tetapi ia harus patuh pada ayahnya. Ia pergi. Mempersiapkan pembunuhan yang menentukan itu.
Sebagai ayah, Drona begitu sayang pada Aswatama. Seisi dunia akan ditampiknya jika harus diganti dengan Aswatama, kebanggaannya. Drona bersumpah akan rela menyusul mati jika Aswatama mati. Sumpah itu – seperti biasa – dicatat oleh dewa, dan, seperti biasa akan dibocorkan kelak pada saatnya.
Drona memang seorang guru yang mumpuni. Tetapi ia tidak adil. Kepada Aswatama ia memberi pelajaran lebih, melebihi apa yang ia berikan kepada Pandawa dan Kurawa. Lambat namun pasti Aswatama telah menjelma menjadi paling tangkas dan sakti. Tetapi Aswatama tahu diri, ia bukan kasta ksatria, ia lebih baik tidak menonjolkan diri. Biarlah para ksatria dunia yang menonjol, ia cukup dibelakang layar saja. Toh ia bisa mengambil peran lain.
Sesungguhnya Aswatama tak luput dari pesona Banowati. Ia tergila-gila. Tetapi ia selalu diajari untuk tampil dibelakang layar. Mental seperti inilah yang menjadikan Aswatama tidak berani menyatakan cinta pada Banowati. Aswatama tahu diri, ia bukan ksatria. Aswatama menanggung pilu saat Banowati semakin dekat dengan Arjuna. Aswatama dendam, tetapi tidak berdaya. Nyatalah sudah bahwa di jaman kuno, kasta adalah segalanya.
Malam telah gelap memekat bersenggama dengan bau wangi dupa yang menaburi dingin. Suasana yang sempurna bagi insan yang menyimpan rahasia. Tetapi tidak bagi mata Aswatama. Ia bisa memahami dan memastikan, di sudut sana, pujaan hatinya tengah berdua dengan Arjuna. Saat-saat yang selalu dilanjutkan dengan percumbuan dan persetubuhan. Asawatama terluka, tetapi tidak berdaya. Oh Banowati, mengapa kau begitu hina. Tetapi…tetapi…aku cinta.
Pertentangan Pandawa dan Kurawa semakin hebat. Kedua kubu semakin aktif membangun aliansi. Pada pertemuan di Balairung Hastina, Sangkuni memberi petuah pada Doryudana.
“Wahai raja Astina memang sudah menjadi kehendak dewata jika perang bakal meletus. Perang tentu akan dimenangkan oleh pihak yang lebih kuat dan lebih banyak mendapat dukungan dari negara sahabat. Hendaknya sang prabu membangun persekutuan dengan cara apapun. Ada satu kerajaan yang harus segera paduka dekati karena disamping mereka kuat juga telah condong hatinya kepada Pandawa, ialah negeri Mandaraka yang dipimpin Prabu Salya.”
“Bagaimana mungkin kita bisa merebut hati Prabu Salya, sedangkan mereka bertetangga dengan Pandawa sejak jaman kuno, wahai patihku. Bukankah Salya itu juga ipar Pandu, ayah Pandawa.
Sangkuni terkekeh. Dari mulutnya yang bau kemenyan meluncurlah saran yang jitu.
“Paduka jangan berkecil hati. Prabu Salya punya tiga orang putri. Pinanglah salah satunya. Perkawinan paduka akan menyatukan dua kerajaan.” Doryudana terkesima.
Tetapi memang Balairung itu terlalu terbuka. Banyak kuping yang mendengar. Dalam tempo tidak seberapa lama setelah pertemuan itu muncul kabar, Erawati diculik oleh Baladewa untuk diperistri, sedangkan Surthikanti dilarikan Karna untuk maksud yang sama. Salya yang sombong keberatan jika Erawati diperistri oleh Baladewa, keberatan mana baru mencair setelah Salya tahu bahwa Baladewa juga raja di Mandura.
Sedangkan Surthikanti diikhlaskan menjadi milik Karna sebagai jaminan kesetiaan agar bersedia membela Kurawa saat bharatayuda. Tinggal satu yang tersisa : Banowati. Tetapi Doryudana ragu, bukankah ia telah berpacaran dengan Arjuna, musuh besarnya. Tetapi ini politik. Keraguan harus disimpan dilaci kusam.
Pinangan segera dilakukan. Salya akhirnya menerima pinangan itu karena Doryudana memberikan seserahan harta yang berlimpah. Tetapi Banowati menolak dengan cara sangat halus. Banowati menetapkan syarat yang pastinya akan ditolak oleh Doryudana. Apakah itu?
“Rama Prabu, saya akan menerima pinangan Doryudana tetapi dengan satu syarat yaitu kelak menjelang perkawinan, saya minta dalam ritual siraman dimandikan diruang tertutup.” Mendengar penuturan putrinya Salya tersenyum. Itu hal yang mudah.
“Yang memandikan adalah Arjuna.” Salya terdiam.
Itu mustahil.
Mendengar syarat itu Doryudana begitu terpukul. Harga dirinya tersinggung dahsyat. Bagaimana mungkin calon pengantinnya mandi siraman dengan Arjuna. Tetapi Patih Sangkuni segera menengahi.
“Paduka, sebaiknya syarat itu diterima saja. Kemenangan di Kurusetra jauh lebih penting dari pada persyaratan yang remeh-temeh itu. Ingatlah bahwa Paduka adalah seorang raja yang bertugas melindungi seluruh Hastina. Para Nabi dan bijak bestari pun sejak dahulu hingga kedepan senantiasa melangsungkan perkawinan politik, demi negara, ingat itu sang Prabu.”
“Tetapi bukan dengan cara seperti ini paman patih.”
“Coba Sang Prabu pikir kembali, Mandaraka punya seratus ribu prajurit. Jumlah sebanyak itu akan jatuh ketangan Pandawa manakala Banowati diperistri Arjuna. Sang Prabu harus bertindak cepat, jangan sampai Banowati terlepas seperti halnya Erawati dan Surthikanti. Toh nanti sang Prabu bisa mengambil istri lagi.” Kalimat terakhir ini diucapkan Sangkuni dengan mata berkedip-kedip.
Doryudana yang lemah itu akhirnya menuruti kata Sangkuni. Godaan kekuasaan menutupi kehormatan. Pernikahan tanpa cinta dari kedua belah pihak akhirnya dilangsungkan juga. Sejak itu, Aswatama semakin tenggelam dalam perasaannya sendiri yang tidak jelas. Sebagai pelampiasan Aswatama giat berlatih olah keprajuritan. Ia merasa akan mengambil peran menentukan dalam bharatayuda. Ia semakin tak tertandingi.
Banowati walau telah menjadi istri Doryudana tetap membuka hati, dan berjanji dengan arjuna untuk saling setia
“Kemarilah, Raden.
nikmati tubuhku malam ini sebagai penghilang penat siangmu.”
nikmati tubuhku malam ini sebagai penghilang penat siangmu.”
Wajah cantik,
rambut panjang bak mayang mengurai,
kulit langsat, bibir merekah, pipi merona,
cinta yang tak bertepian hanya untukmu.
kulit langsat, bibir merekah, pipi merona,
cinta yang tak bertepian hanya untukmu.
“Putri, menikahlah denganku.”
“Tidak! Aku sudah bersuami.”
“Tapi engkau mencintaiku.”
“Cinta saja tak cukup, Raden.
Aku butuh lelaki setia.”
“Tidak! Aku sudah bersuami.”
“Tapi engkau mencintaiku.”
“Cinta saja tak cukup, Raden.
Aku butuh lelaki setia.”
“Setia? Bukankah engkau telah menduakan suamimu
bahkan sejak engkau belum bersuamikan dia?”
bahkan sejak engkau belum bersuamikan dia?”
“Ya, Raden.
Aku memang mencintaimu.
Tapi aku bukan Srikandi ataupun Subadra.
Tak mungkin aku membagi suamiku dengan perempuan lain.”
Aku memang mencintaimu.
Tapi aku bukan Srikandi ataupun Subadra.
Tak mungkin aku membagi suamiku dengan perempuan lain.”
“Putri…”
“Raden, cukuplah kita seperti apa adanya kita.
Dengan begini, aku takkan pernah menjadi perempuan yang engkau khianati.”
Dalam kisah Mahabarata, Duryudana dikenal sebagai tokoh antagonis. Dia memiliki sifat dan sikap yang buruk. Berbagai watak yang tidak baik seperti tidak peduli,mau menang sendiri.kejam dan tidak menghargai dan mengindahkan nasehat para sesepuh dan berbagai watak yang tidak baik lainnya sudah menjadi watak kesehariannya.“Raden, cukuplah kita seperti apa adanya kita.
Dengan begini, aku takkan pernah menjadi perempuan yang engkau khianati.”
Namun Untuk urusan cinta dan kasih sayang kepada istrinya, Duryudana sangat berbeda dengan sifat kesehariannya. Duryudana menjadi sosok yang luar biasa dan mungkin bisa menjadi contoh yang baik dalam mencintai dan mampu menerima cinta apa adanya. Bahkan kesetiaan dia terhadap istrinya tidak masuk akal.
Berikut sepenggal kisah yang menandakan betapa cinta dan setianya Duryudana dengan istrinya Banowati.
“Suamiku bagaimana kabar dari perang Baratayuda? Apakah sudah berakhir? Apakah Kanda telah menyerahkan sebagian negri Astina kepada Pandawa?”
Mendengar pertanyaan dari bibir indah istrinya Banowati, seakan menusuk perih jiwa Duryudana. Ia sadar, apa maksud dari pertanyaan istrinya, yang sebenarnya ingin memastikan keselamatan dari kekasih abadinya, Arjuna.
“Istriku tercinta, perang masih berlangsung. Banyak sudah pepunden dan orang-orang terkasih telah gugur dalam peperangan ini. Eyang Bisma, telah gugur membela negri. Guru kami Durna, pun telah tiada. Dan suami dari kakakmu Surtikanti, Kanda Karna, pun telah gugur setelah menjadi senapati Astina. Kakakmu Surtikanti, mati bela pati,” geram Duryudana membayangkan gugurnya para andalannya yang gugur dalam pertempuran itu.
“Lalu apa kata dunia, bila mereka-mereka yang telah memberikan nyawa untuk negri ini sementara aku kemudian menyerah kalah? Sungguh aku akan dicap menjadi orang tak tahu diri. Termasuk golongan pecundang. Berpesta pora di atas darah dan peluh orang-orang yang membantu kemulyaan kita. Ingat Banowati istriku, selama tubuh Duryudana ini masih tegak berdiri. Selama nyawaku masih berada dalam jasadku, selama itu pula aku akan tetap melanjutkan peperangan ini,” tekat Duryudana dengan menahan amarah dan dendam membara.
“Namun bukankah Pandawa masih saudara kita sendiri Kangmas ? Bukankah sebenarnya Kangmas dapat menghindari perang saudara ini dengan memberikan hak mereka akan sepenggal tanah di Astina ini. Bukankah sebagai gantinyapun, rama Prabu Salya telah bersedia memberikan negeri Mandraka bila Kangmas menghendakinya ?” pedih Banowati tidak berdaya.
“Oooo Banowati, dinda tidak mengerti bagaimana perih hati ini menyaksikan kemenangan sedikit demi sedikit diraih Pandawa. Meskipun itu juga tidak diperoleh dengan percuma. Banyak ksatria mereka yang tewas juga. Namun Pandawa masih lengkap berjumlah lima, sedangkan Kurawa ? Tinggal berjumlah lima, dinda. Seratus tinggal lima. Bagaimana pertanggungjawabanku terhadap adik-adikku yang berkorban demi kemulyaan kakaknya, kalau aku saat ini menyerah begitu saja. Tidak, dinda ! Tidak saat ini dan tidak untuk selamanya ! Meskipun Pandawa masih bersaudara dekat denganku, meskipun masa kecil kami lalui bersama, namun saat ini keyakinanlah yang membuat peperangan antara kami harus terjadi”
“Oleh karenanya, kanda pamit kepadamu dinda. Ijinkanlah suamimu ini tuk maju ke medan laga. Perang pastilah menghasilkan hanya ada dua pilihan. Antara menang atau sebagai pecundang, antara masih hidup atau meregang nyawa. Itu yang kanda sadarai dan tentunya juga si Adi. Dinda tahu bagaimana cinta kanda kepadamu. Dari awal kita menikah hingga kini tiada berkurang, bahkan terus bertambah dari waktu ke waktu. Cintaku buta, tidak peduli akan terpaan kejadian apapun ataupun gejolak di hatimu yang setidaknya aku ketahui,” lembut Duryudana mengungkapkan hal itu.
Kembali tergambar, masa dimana Banowati akhirnya berhasil dinikahinya meskipun dia tahu bahwa tak akan pernah mampu memiliki hati dan cintanya. Cinta kasih Banowati telah terengkuh dibawa pergi oleh Arjuna. Duryudana sadar akan kelemahan dirinya. Namun cintanya begitu telah tertanam dan tertancap kuat dalam relung hatinya. Biarlah apa kata orang tentang istrinya ataupun apapun sikap istrinya terhadap dirinya yang adakalanya tersirat mengungkapkan harapan sejatinya, baginya Banowati adalah satu-satunya wanodya (wanita) yang dikasihinya sepenuh hatidan tiada tergantikan. Meskipun bila dia maum puluhan bahkan ratusan wanita yang tidak kalah cantik dengan Banowati mampu didapatkannya, namun Duryudana tiada mampu melakukan itu, karena Banowati selalu memenuhi pandangan di setiap sisi hatinya.
Dan saat dia harus maju perang sendiri ke medan perang, yang diingatnya hanyalah Banowati. Keselamatan Banowati adalah yang paling utama, maka dia memerintahkan prajurit kerajaan untuk mengamankan istri tercintanya ke tempat persembunyian. Sebelum dia maju berperang melawan Pandawa, Duryudana harus yakin akan keselamatan Banowati, meskipun dia maju untuk menjemput maut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar